SESUNGGUHNYA momentum ibadah haji, bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia memiliki makna historis yang panjang. Selain itu, menunaikan ibadah haji ternyata memiliki narasi tersendiri tentang perjuangan anak-anak bangsa ini untuk mengusir penjajah, memberdayakan masyarakat, dan mengisi kemerdekaan
Nilai historis haji bisa kita lihat dari kebangkitan Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Diakui atau tidak, sejarah menceritakan bahwa berbagai perlawanan terhadap kaum kolonial dan kebangkitan kesadaran berbangsa dan bernegara diawali oleh orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji.
Hal ini dimulai dengan beberapa tokoh Indonesia yang menunaikan ibadah haji kemudian tinggal beberapa waktu di Tanah Suci dan kembali ke Tanah Air.
Sekitar 1890-1910, beberapa tokoh muslim yang mukim di Arab Saudi kembali ke Tanah Air.
Di Indonesia mereka mendirikan berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Serikat Dagang Islam, (SDI) Jamiatul Khoir, madrasah, dan pesantren. Pendirian beragam lembaga itu merupakan pilar-pilar kebangkitan bangsa Indonesia. Pilar-pilar yang menghadirkan kemerdekaan Indonesia.
Saya kira jika tidak ada jemaah haji pada waktu itu, kita akan mengalami keterlambatan kebangkitan yang luar biasa. Atau jika tidak terlambat, maka kebangkitan bangsa ini akan jauh dari nilai-nilai agama.
Bagaimana kehebatan ibadah haji ini, kita bisa mengambil sebuah kisah nyata tentang penaklukan Aceh oleh Belanda.
Untuk mencari kelemahan Aceh, maka pemerintah kolonial Belanda mengirim seorang orientalis bernama Snouck Horgoranye untuk mempelajari bagaimana kehidupan jemaah haji itu sehingga membangkitkan kesadaran sebagai bangsa yang harus merdeka. Snouck ditugaskan di Konsulat jenderal di Jedah, Arab Saudi.
Untuk mempermudah misi, ia pura-pura masuk Islam dan mengganti namanya dengan Abdul Ghofar. Setelah berganti nama ia masuk ke Mekah. Di Kota Suci ini Snouck kemudian mempelajari berbagai aspek kehidupan para jemaah haji sehingga bisa membangkitkan kesadaran bangsa untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme.
Ia membuat rekomendasi kepada pemerintah kolonial Belanda di Jakarta, bahwa untuk menaklukkan umat Islam, khususnya Aceh, maka lakukan satu hal, jemaah haji jangan diberi peran dalam kehidupan di masyarakat. Orang Islam yang sudah menunaikan haji harus dikerdilkan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, atau pembangunan. Berikan kepada haji itu posisi sebagai imam salat, muazin, dan mengaji. Jangan diberikan peranan memberdayakan masyarakat.
Inilah awal dari sekularisasi yang terjadi di Indonesia.
Strategi Snouck ini pula yang meruntuhkan Aceh sebagai daerah yang paling terakhir dikuasai Belanda. Kini kurang lebih seratus tahun kemudian, jika kita mempergunakan terminologi Nabi Muhammad SAW, "Allah akan membangkitkan per seratus tahun kelompok yang bisa menghadirkan agama Islam sebagai khoiru ummah (umat yang terbaik)."
Oleh sebab itu, saat ini adalah kesempatan emas bagi para haji atau yang akan menunaikan ibadah haji untuk membuktikan diri dalam berbagai aspek kehidupan untuk menghadirkan kebangkitan. Ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya.
Dengan kekuatan haji ini, maka sesungguhnya bangsa ini bisa menolak berbagai penjajahan yang akan menimpa. Kesempatan ini tentu sebuah peluang dan tantangan tersendiri bagi umat Islam, khususnya, para haji untuk membuktikan diri sebagai aktor kebangkitan umat di masa mendatang.
Islam sesungguhnya hadir untuk memberdayakan umat.
Sejarah Islam menunjukkan ajaran Islam diawali oleh Iqro bismirobbikaladzi kholaq (bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan) dan diakhiri dengan ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).
Nilai monumental ibadah haji bagi kaum muslimin sebagaimana sejarah Islam tadi sejatinya ketika para jemaah itu pulang ke Tanah Air. Benar adanya di Tanah Suci adalah untuk ibadah, namun realisasi dan implementasi nilai haji ada di Tanah Air.
Karena diakui atau tidak, umat Islam memerlukan peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi, sosial. Hal ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengunjungi Baitullah.
Untuk merealisasikan cita-cita berhaji yang menghasilkan gerakan dan kebangkitan bangsa di atas, tentu saja umat Islam tidak hanya sebatas menunaikan ibadah haji dengan satu keinginan jangka pendek.
Misalnya, karena kita sedang sakit, maka pergi haji. Benar adanya ia menjadi sehat, tetapi hanya sebatas itu yang diperolehnya.
Menunaikan rukun Islam kelima ini tentu harus dengan cita-cita mulia, haji mabrur. Sebuah kondisi di mana seorang yang pernah menunaikan ibadah haji saling berbagi, saling bergandeng tangan untuk mewujudkan satu cita-cita besar, membentuk khoiru ummah.
Karena tanpa kebersamaan sebagai umat Islam, kebersamaan sebagai satu bangsa maka cita-cita besar haji sebagai wahana kebangkitan bangsa tidak akan berhasil.
Oleh sebab itu, untuk mengukuhkan dream menjadi satu kenyataan, setidaknya ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh calon atau alumni haji Indonesia.
Pertama to know (mengetahui) to fill (internalisasi), dan to act (aktualisasi), dan to spread (menyebarluaskan). Perpaduan secara organis dan dinamis keempat faktor dalam jiwa haji Indonesia, insya Allah akan membawa terwujudnya mimpi haji menjadi wahana kebangkitan Indonesia di masa mendatang. (Disarikan dari ceramah Hidayat Nurwahid pada Halalbihalal alumni haji Tauba Zakka Atkia)