Salah satu nikmat terbesar dalam hidup ini adalah agama (Islam), karena dengan adanya agama maka kita mempunyai petunjuk untuk menghadapi hidup (yg kian hari kian ruwet).

Pada dasarnya, tujuan manusia hidup telah tertulis dalam Al Qur’an, Adz Dzariyat(56):51,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Diturunkannya rasul2 dalam kehidupan manusia adalah sebagai contoh bagaimana menyembah ALLOH SWT. Ini juga tertulis dalam An Nur(24):34,“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”

Agama –> sebagai keteguhan hati, kejelasan sikap, ketaatan ibadah dan keindahan pribadi.

Dengan agama (Islam), kita juga diajari bagaimana kita bersikap apabila suatu ketika kita mengalami musibah. Simak Al Baqarah(2):156,“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”"

Rasululloh SAW sendiri bersabda,”"Artinya : Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya”. (Ditakhrij Muslim, 8/125 dalam Az-Zuhud)

Jika seorang muslim bersyukur atas nikmat yg dia peroleh –> kebajikan dan pahala akan dia dapatkan. Sedangkan jika seorang muslim bersabar dalam musibah –> maka ampunan dan pahala akan dia dapatkan.

Dari berbagai cerita dan pengalaman yg pernah kita tahu, banyak orang ‘berhasil’ ketika diuji dengan kemiskinan. Namun, ketika mereka diuji dg kekayaan (keberhasilan), tidak sedikit yg gagal…mereka menjadi kufur nikmat. Hal ini dikarenakan mereka terlena dg kekayaan yg mereka peroleh, sehingga mereka lupa untuk bersyukur.

Pada dasarnya ujian, cobaan, dan nikmat, telah ALLOH SWT tetapkan, sebagaimana tercantum pada Al Hadiid(57):22,“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

SESUNGGUHNYA momentum ibadah haji, bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia memiliki makna historis yang panjang. Selain itu, menunaikan ibadah haji ternyata memiliki narasi tersendiri tentang perjuangan anak-anak bangsa ini untuk mengusir penjajah, memberdayakan masyarakat, dan mengisi kemerdekaan

Nilai historis haji bisa kita lihat dari kebangkitan Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Diakui atau tidak, sejarah menceritakan bahwa berbagai perlawanan terhadap kaum kolonial dan kebangkitan kesadaran berbangsa dan bernegara diawali oleh orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji.

Hal ini dimulai dengan beberapa tokoh Indonesia yang menunaikan ibadah haji kemudian tinggal beberapa waktu di Tanah Suci dan kembali ke Tanah Air.

Sekitar 1890-1910, beberapa tokoh muslim yang mukim di Arab Saudi kembali ke Tanah Air.

Di Indonesia mereka mendirikan berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Serikat Dagang Islam, (SDI) Jamiatul Khoir, madrasah, dan pesantren. Pendirian beragam lembaga itu merupakan pilar-pilar kebangkitan bangsa Indonesia. Pilar-pilar yang menghadirkan kemerdekaan Indonesia.

Saya kira jika tidak ada jemaah haji pada waktu itu, kita akan mengalami keterlambatan kebangkitan yang luar biasa. Atau jika tidak terlambat, maka kebangkitan bangsa ini akan jauh dari nilai-nilai agama.

Bagaimana kehebatan ibadah haji ini, kita bisa mengambil sebuah kisah nyata tentang penaklukan Aceh oleh Belanda.

Untuk mencari kelemahan Aceh, maka pemerintah kolonial Belanda mengirim seorang orientalis bernama Snouck Horgoranye untuk mempelajari bagaimana kehidupan jemaah haji itu sehingga membangkitkan kesadaran sebagai bangsa yang harus merdeka. Snouck ditugaskan di Konsulat jenderal di Jedah, Arab Saudi.

Untuk mempermudah misi, ia pura-pura masuk Islam dan mengganti namanya dengan Abdul Ghofar. Setelah berganti nama ia masuk ke Mekah. Di Kota Suci ini Snouck kemudian mempelajari berbagai aspek kehidupan para jemaah haji sehingga bisa membangkitkan kesadaran bangsa untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme.

Ia membuat rekomendasi kepada pemerintah kolonial Belanda di Jakarta, bahwa untuk menaklukkan umat Islam, khususnya Aceh, maka lakukan satu hal, jemaah haji jangan diberi peran dalam kehidupan di masyarakat. Orang Islam yang sudah menunaikan haji harus dikerdilkan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, atau pembangunan. Berikan kepada haji itu posisi sebagai imam salat, muazin, dan mengaji. Jangan diberikan peranan memberdayakan masyarakat.

Inilah awal dari sekularisasi yang terjadi di Indonesia.

Strategi Snouck ini pula yang meruntuhkan Aceh sebagai daerah yang paling terakhir dikuasai Belanda. Kini kurang lebih seratus tahun kemudian, jika kita mempergunakan terminologi Nabi Muhammad SAW, "Allah akan membangkitkan per seratus tahun kelompok yang bisa menghadirkan agama Islam sebagai khoiru ummah (umat yang terbaik)."

Oleh sebab itu, saat ini adalah kesempatan emas bagi para haji atau yang akan menunaikan ibadah haji untuk membuktikan diri dalam berbagai aspek kehidupan untuk menghadirkan kebangkitan. Ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya.

Dengan kekuatan haji ini, maka sesungguhnya bangsa ini bisa menolak berbagai penjajahan yang akan menimpa. Kesempatan ini tentu sebuah peluang dan tantangan tersendiri bagi umat Islam, khususnya, para haji untuk membuktikan diri sebagai aktor kebangkitan umat di masa mendatang.

Islam sesungguhnya hadir untuk memberdayakan umat.

Sejarah Islam menunjukkan ajaran Islam diawali oleh Iqro bismirobbikaladzi kholaq (bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan) dan diakhiri dengan ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).

Nilai monumental ibadah haji bagi kaum muslimin sebagaimana sejarah Islam tadi sejatinya ketika para jemaah itu pulang ke Tanah Air. Benar adanya di Tanah Suci adalah untuk ibadah, namun realisasi dan implementasi nilai haji ada di Tanah Air.

Karena diakui atau tidak, umat Islam memerlukan peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi, sosial. Hal ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengunjungi Baitullah.

Untuk merealisasikan cita-cita berhaji yang menghasilkan gerakan dan kebangkitan bangsa di atas, tentu saja umat Islam tidak hanya sebatas menunaikan ibadah haji dengan satu keinginan jangka pendek.

Misalnya, karena kita sedang sakit, maka pergi haji. Benar adanya ia menjadi sehat, tetapi hanya sebatas itu yang diperolehnya.

Menunaikan rukun Islam kelima ini tentu harus dengan cita-cita mulia, haji mabrur. Sebuah kondisi di mana seorang yang pernah menunaikan ibadah haji saling berbagi, saling bergandeng tangan untuk mewujudkan satu cita-cita besar, membentuk khoiru ummah.

Karena tanpa kebersamaan sebagai umat Islam, kebersamaan sebagai satu bangsa maka cita-cita besar haji sebagai wahana kebangkitan bangsa tidak akan berhasil.

Oleh sebab itu, untuk mengukuhkan dream menjadi satu kenyataan, setidaknya ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh calon atau alumni haji Indonesia.

Pertama to know (mengetahui) to fill (internalisasi), dan to act (aktualisasi), dan to spread (menyebarluaskan). Perpaduan secara organis dan dinamis keempat faktor dalam jiwa haji Indonesia, insya Allah akan membawa terwujudnya mimpi haji menjadi wahana kebangkitan Indonesia di masa mendatang. (Disarikan dari ceramah Hidayat Nurwahid pada Halalbihalal alumni haji Tauba Zakka Atkia)


oleh : AA' GYM

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam." (H.R. Bukhari-Muslim)

Apa yang akan terjadi apabila orang yang sedang dilanda emosi kita debat atau lebih halus dari itu, kita nasihati? Alih-alih meredakannya, yang lebih mungkin terjadi adalah ibarat menyiramkan bensin ke api. Bukannya mereda, amarahnya malah akan semakin membara dan membakar segala-gala.

Mengapa demikian? Orang yang sedang marah jelas cenderung tidak siap menerima nasihat atau mendengar pendapat yang berseberangan dengan apa-apa yang menjadi unek-uneknya. Mentalnya saat itu tentu lebih disiapkan untuk memuaskan segala yang sedang bergolak di dalam dadanya.

Adapun tindakan yang paling pantas kita lakukan dalam keadaan demikian adalah berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan diri. Ya, kalaupun harus berucap, maka ucapan seperti, "Ya, saya maklum" atau "Saya dapat memahami perasaan Anda" akan jauh lebih maslahat dan dapat sangat efektif meredakan emosinya ketimbang nasihat atau kata-kata kebenaran yang salah pasang.

Dengan demikian, dalam ikhtiar membermutukan lisan, setelah faktor keikhlasan sebagai kata kunci utama (baca "Lisan yang Bermutu"), faktor tujuan dan apa yang dikatakan harus sesuai kenyataan, sesungguhnya ada satu lagi faktor yang jangan sekali-kali diabaikan, yakni waktu atau momentum yang tepat. Artinya, kita harus pandai-pandai memilih dan memilah waktu dan kondisi, sehingga sesuai dengan keadaan yang membutuhkannya. Pendek kata, pilihlah kata-kata terbaik, waktu terbaik, dan tempat terbaik agar kata-kata kita membawa hasil terbaik pula.

Ketahuilah, sebelum berkata-kata, sesungguhnya kata-kata itu tawanan kita. Akan tetapi, sesudah telontar dari lisan, justru kitalah yang ditawan oleh kata-kata sendiri. Buktinya? Betapa banyak orang yang sengsara, menanggung malu, terbebani batinnya, bahkan membuat nyawanya melayang gara-gara kata-kata yang salah ucap, yang keluar dari mulutnya sendiri. Begitu banyak contoh nyata dalam kejadian sehari-hari yang bisa membuktikan semua ini.

Mungkin suatu ketika kita baca di koran berita tentang beberapa pelajar SMA yang terlibat pergaulan bebas dengan sesama teman sebayanya. Biasanya mulut ini begitu gatal untuk segera berkomentar, "Mareka sebenarnya adalah korban-korban dari ketidakbecusan para orang tuanya dalam mendidik anak-anaknya sendiri." Atau, kadang-kadang ketika berkumpul bersama teman-teman, tidak bisa tidak, kita sering dengan sadar dan bahkan dinikmati, terjebak dalam perbuatan ghibah, mengumbar-umbar aib dan keburukan orang lain, teman, atau bahkan beberapa sikap dan periaku orang tua sendiri yang dalam penilaian hawa nafsu kita, tidak kita sukai.

Nah, bila kita acap atau kerap kali senang menggelincirkan lisan ini ke dalam perbuatan-perbuatan demikian, pertanyaan yang harus segera diajukan terhadap diri sendiri adalah, mestikah saya berbicara? Haruskah saya mengomentari masalah ini? Mengapa saya harus ikut-ikutan memberikan penilaian, padahal kita mungkin tidak tahu permasalahan yang sebenarnya?

Subhanallah! Siapa pun yang ingin memiliki lisan yang bermutu serta kata-kata yang mengandung kekuatan dahsyat untuk mengubah orang lain menjadi lebih baik, satu hal yang harus direnungkan, yakni bahwa kekuatan terbesar dari kata-kata kita adalah harus membuat orang senantiasa mendapatkan manfaat dari apa pun yang kita ucapkan.

Kalau hanya bicara, padahal kita sendiri tidak tahu akan membawa manfaat atau tidak, sebaiknya diam saja. "Falyaqul khairan aw liyaskut!" demikian sabda Rasulullah saw. Hendaklah berkata yang baik atau diam! Berkata itu bagus dan boleh boleh saja, namun diam itu jauh lebih bagus kalau toh kata-kata yang kita ucapkan akan tidak membawa manfaat.

Kalaupun kita memandang perlu untuk berkata-kata-kata, sebaiknya berikan yang terbaik kepada orang yang mendengarkannya, kata-kata yang paling indah, paling tulus, paling bersih dari segala niat, dan motivasi yang tidak lurus.

Karenanya, usahakanlah kata-kata yang keluar dari lisan ini kita kemas sedemikian rupa sehingga membawa manfaat dan maslahat baik bagi diri sendiri maupun bagi jalan hidup serta tumbuhnya motivasi, kehendak, ataupun tekad seseorang.

Hanya empat hal dari kata-kata yang paling tinggi nilai dan mutu-nya, yang seyogianya keluar dari lisan kita. Pertama, ketika mendapat karunia nikmat, suruhlah lisan ini bersyukur kepada Allah. Kedua, ketika ditimpa ditimpa musibah, segera suruh mulut ini untuk bersabar, inna lillaahi wa inna ilayhi raaji`uun. Ketiga, ketika mendapat taufik dari Allah berupa kemampuan beribadah yang lebih baik daripada yang bisa dilakukan orang lain, suruh mulut ini berkata bahwa semua kemampuan ibadah kita adalah semata-mata berkat karunia dari Allah Azza wa Jalla. Keempat, ketika kita tergelincir berbuat dosa, lekas-lekas suruh lisan ini ber-istighfar memohon ampunan kepada Allah. Dan selebihnya adalah sikap hati-hati setiap kali lisan kita hendak berkata-kata.

Hendaknya kita tidak membiarkan mulut ini sembarang berbunyi. Daripada berakibat sengsara, lebih baik menahan diri. Sebab, jangankan menyampaikan nasihat, bukankah untuk bertanya saja dalam ajaran Islam demikian tinggi adabnya.

Misalnya, terhadap seseorang yang kita tahu suka melaksanakan saum sunnah, kita bertanya, "Mas, Anda sedang saum?" Padahal di sekelingnya sedang banyak orang. Ini kan pertanyaan yang berat. Betapa tidak? Kalau orang tersebut menjawab, "Ya, saya saum", hatinya mungkin bisa tergores-gores karena kekhawatirannya berbuat riya. Kalau ia menjawab tidak saum, berarti dusta dan itu dosa sekaligus bisa menghilangkan pahala saumnya. Kalau memilih diam saja, bisa-bisa dianggap sombong. Demikian pula kalau hendak berdiplomasi saja, minimal ia akan kerepotan untuk mencari kata-kata yang tepat. Ini berarti pertanyaan kita membebani batin orang dan sekaligus mubazir.

Oleh sebab itu, tidak heran kalau para ulama dan orang-orang yang saleh serta berkedudukan di sisi Allah sangat hemat dengan kata-kata. Kendati, mungkin ilmunya sangat luas, pemahamannya begitu dalam dan jembar, hafal seluruh surat Alquran dan ribuan hadis Nabi, telah menyusun berpuluh-puluh kitab yang monumental, ibadahnya begitu dahsyat, sementara akhlaknya pun demikian cemerlang.

Semua itu karena mereka sangat yakin bahwa kesia-siaan dalam berkata-kata pastilah akan mengundang setan dan niscaya pula akan menyeretnya ke dalam jurang neraka Saqar (Q.S. Mudatstsir: 45).

Walhasil, marilah kita tata lisan yang cuma satu-satunya ini. Percayalah, diam itu emas. Orang yang sanggup memelihara lisannya akan lebih kuat wibawanya daripada orang yang gemar menghambur-hamburkan kata-kata, tetapi kosong makna.

Berusahalah senantiasa agar kata-kata yang kita ucapkan benar-benar bersih dari penambahan-penambahan dan rekayasa yang tiada artinya. Ukurlah selalu, di mana, kapan, dan dengan siapa kita berbicara agar setiap kata yang terucap benar-benar bermutu dan tinggi maknanya.

Mudah-mudahan Allah Yang Maha Menyaksikan segala-gala senantiasa menolong kita agar selalu sadar bahwa rahasia kekuatan lisan yang bisa menggugah dan mengubah orang lain itu, berawal dari hati yang tulus ikhlas. Tidak rindu apa pun dari yang kita katakan, kecuali rindu kemuliaan bagi yang mendengarkannya, rindu demi senantiasa mulia dan tegaknya agama Allah, serta rindu agar segala yang kita ucapkan menjadi ladang amal saleh untuk bekal kepulangan kita ke akhirat kelak. Insya Allah!



Oleh : Aa Gym

Manusia hakikatnya tempat segala dosa. Pada dirinya, berkumpul berbagai kekurangan dan kelemahan. Dalam jiwanya, bersemayam kekhilafan dan kealpaan hingga tercipta dosa yang membuat ia berjarak pada khaliknya.

Akan tetapi, ada kalanya dosa bisa membuat manusia dekat pada Allah. Dosa yang membuat pelakunya semakin mengenal dan mencintai Allah. Dosa yang digariskan oleh Allah sebagai penunjuk jalan agar ia sadar dan mendekati diri-Nya.

Ada tiga dosa yang dapat membuat seseorang menyadari hakikat dan eksistensinya sebagai hamba Allah. Yaitu pertama, dosa yang tidak diingini. Dosa yang diperbuat, karena kealphaan semata. Saat melakukan perbuatan yang berbuah dosa itu, tidaklah direncanakan. Ia tercipta karena kekhilafan bukan kebiasaan.

Kedua, dosa yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Dosa yang dilakukan, meninggalkan bekas yang membuat galau hati. Rasa yang menyebabkan pelakunya dihantui rasa bersalah di setiap detik hidupnya. Ia sama sekali tidak menikmati dosa-dosa yang dilakukan.

Dan ketiga, dosa yang membuat seseorang menjadi tersungkur pada Allah. Cirinya, ia menyesal saat menyadari dosa yang telah diperbuat, dan tobat memohon ampunan Allah.

Yakinlah bahwa seseorang bisa tergelincir ke perbuatan dosa karena berkurangnya perlindungan dari Allah. Karenanya, jangan pernah putus harapan ketika menyadari besarnya dosa yang telah diperbuat. Jangan pernah sedikit pun meragukan kasih sayang Allah. Bahkan seseorang akan ‘benar-benar’ berdosa bila meyakini dosanya tidak terampuni. Sebab ia meragukan Allah sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Begitu juga, jangan pernah memandang rendah orang yang berdosa namun bertobat karenanya. Lebih mulia seseorang yang bertobat akan dosa yang ia lakukan daripada mereka yang menyombongkan dirinya dan merasa aman dengan berbagai amal yang ia lakukan.

Yang penting bukanlah membanggakan diri sebagai manusia tanpa dosa, tetapi bagaimana membuat hanya Allah di hati, meskipun beribu dosa menyesaki.




Aa Gym
www.dpu-online.com

Garputala akan bergetar manakala menyerap frekuensi yang sama. Dan garputala itu juga akan menggetarkan garputala disekitarnya, bila ia menangkap gelombang getaran yang identik dengan dirinya. Tetapi bila gelombang yang digetarkan tidak pada frekuensi sama, garputala tersebut tidak bergetar dan juga tidak menggetarkan garputala yang lainnya.

Begitu juga dalam hidup ini. Pergaulan kita dengan orang lain, juga menganut hukum seperti itu. Hukum frekuensi yang sama.

Sadar atau tidak sadar, sehari-harinya kita memancarkan frekuensi tertentu. Begitu juga, orang-orang disekitar kita memancarkan suatu frekuensi disekitarnya. Seseorang akan menggetarkan dan digetarkan oleh orang lain yang memiliki frekuensi yang sama dengan dirinya.

Seseorang merasa nyaman dengan orang yang memiliki frekuensi yang identik dengan dirinya, bila tidak ia akan merasa tertolak. Oleh sebab itu, orang yang dekat dalam hidup kita adalah orang yang memiliki frekuensi yang sama. Sebaliknya, orang yang kita merasa asing dengannya, karena ia memancarkan frekuensi yang berbeda dengan frekuensi diri kita.

Lalu apa maksud dari hukum ini? Hukum frekuensi yang sama? Maksudnya adalah lingkungan memiliki peran yang penting dalam mewarnai hidup kita. Begitu pun kita juga memiliki peran dalam mempengaruhi lingkungan dimana kita berada.

Selain itu, pelajaran yang dapat dipetik adalah bila kita hendak berubah, hendaknya kita mengubah diri terlebih dahulu. Perubahan yang terekspresikan dalam frekuensi tertentu ini selanjutnya akan mengubah orang-orang disekitar kita untuk memiliki frekuensi yang sama. Mulailah dari diri sendiri.

Karenanya janganlah menyerah bila kita berpikiran tidak mampu mengubah hidup kita menjadi lebih baik, yaitu lebih dekat pada Allah. Kuncinya terletak pada diri kita. Mungkin saja frekuensi yang kita getarkan selama ini adalah frekuensi yang bertolak belakang dengan frekuensi para pencinta Allah. Sehingga Allah pun jadi teramat sulit untuk kita cintai.

Jama'ah