Sabar adalah salah sifat terpuji yang telah ditanamkan Islam kedalam hati para wanita mukminah dari kalangan para shahabiyat, dan menumbuhkannya dalam sanubari mereka, sehingga salah seorang diantara mereka pada saat menghadapi berbagai cobaan dan musibah bagaikan gunung yang kokoh tak bergerak, dan bagaikan singa di sarangnya, ia tidak takut dan tidak ragu.


Mereka telah mengalami berbagai siksaan lahir dan batin, mengalami sakit parah, kemiskinan yang mencekik, kehilangan orang-orang yang dicinati. Namun itu semua tidak menggoyahkan keimanan mereka, tidak membunuh semangat mereka, tidak menjadikan mereka berkeluh kesah, lemah dan gelisah.

Diantara shahabiyat yang mendapat anugerah tersebut adalah Sumaiyah, seorang wanita yang pertama kali mendapatkan syahid dalam Islam.

Kisahnya,….
Dalam ketegaran menghadapi siksaan, tampak sekali sikap Sumaiyah binti Khabbat, ibu Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, sebagai contoh terdepan dan bukti yang sangat tepat dalam hal ini.

Abu Jahal, panglima kezhaliman memakaikan baju besi pada Sumaiyah, kemudian menjemurnya dibawah terik panas matahari yang membakar. Walaupun begitu ia bersabar dan mengharap pahala, ia tidak berharap sesuatu kecuali Allah dan Hari Akhir. Ketika sikap beliau ini mematahkan kesombongan Abu Jahal, dan mengobarkan kemarahan di hatinya, Abu Jahal melakukan apa yang dilakukan oleh para penguasa zhalim lagi jahat ketika tak mampu berbuat apa-apa. Karena ketegaran Sumaiyah radhiallahu ‘anha dalam agamanya, Abu Jahal mendekatinya, kemudian menusuknya dengan tombak hingga meninggal dunia.

Dalam kitab ‘Usdhu al-ghabah’, al-Hafizh Ibnu hajar mengatakan, “Abu Jahal menusuk sumaiyah dengan tombak yang ada ditangannya pada kemaluannya hingga meninggal dunia. Beliau adalah orang yang mati syahid pertama dalam Islam, beliau dibunuh sebelum hijrah, dan beliau termasuk diantara orang yang memperlihatkan keislamannya secara terang-terangan pada awal datangnya Islam.”

Ini adalah merupakan pelajaran bagi setiap mukminah yang diinginkan oleh orang-orang yang brbuat dosa untuk dicopot dari agamanya, hendaknya ia meneladani ketegaran, keteguhan dan kesabaran Sumaiyah. Semboyannya adalah perkataan Abu Athiyah:

“Bersabarlah dalam kebenaran, engkau akan merasakan manisnya
Kesabaran demi kebenaran terkadang harus melaluikepedihan”.

Hal ini juga menunjukkan bahwa sabar itu tidaklah ada batasnya, sampai Allah mendatangkan keputusan dan ketetapan-Nya.

Sumber: Durus min Hayat ash-Shahabiyat, karya Abdul Hamid bin Abdurrahman as-Suhaibani.




Duduk di Atas Kuburan... jangan sepelekan!


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, 'Lebih baik salah seorang dari kamu duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya dan sekujur tubuhnya daripada duduk di atas kubur'," (HR Muslim (971).

Dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, 'Janganlah duduk di atas kubur dan jangan pula shalat menghadapnya'," (HR Muslim (972).

Dari 'Uqbah bin 'Amir radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Sungguh! berjalan di atas bara api atau pedang atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Sama saja buruknya bagiku, buang hajat di tengah kubur atau buang hajat di tengah pasar," (Shahih, HR Ibnu Majah (1567).

Kandungan Bab:

1. Haram hukumnya duduk di atas kubur atau menginjak kubur seorang muslim berdasarkan ancaman berat terhadap pelakunya, khususnya ancaman yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah r.a. Asy-Syaukani menukil dalam Nailul Authaar (IV/136) dari Jumhur, ia mengatakan, "Hadits ini merupakan dalil dilarangnya duduk di atas kubur. Telah disebutkan larangannya sebelumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya haram, dan yang dimaksud dari kata juluus dalam hadits ini adalah duduk."
2. Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa duduk yang dimaksud dalam hadits adalah duduk untuk buang hajat. Beliau berkata dalam kitab al-Muwaththa' (I/233), "Sesungguhnya larangan duduk di atas kubur -menurut kami- bila untuk buang hajat."

Takwil ini sangat jauh dari kebenaran, para ulama telah membantahnya.

Imam asy-Syafi'i berkata dalam kitab al-'Umm (I/277-278), "Aku menganggap makruh hukumnya menginjak kubur, duduk atau bersandar di atasnya, kecuali bila seseorang tidak menemukan jalan lain ke kubur yang ditujunya melainkan dengan menginjaknya. Kondisi tersebut adalah darurat, aku harap ia mendapat keluasaan (dispensasi), insya Allah."

Sebagian rekan kami mengatakan, "Tidak mengapa duduk di atas kubur, sebab yang dilarang adalah duduk untuk buang hajat. Namun menurut pendapat kami tidak seperti itu. Sekiranya yang dilarang adalah duduk untuk buang hajat maka sesungguhnya Rasulullah telah melarangnya. Dan Rasulullah telah melarang duduk di atas kubur secara mutlak selain untuk buang hajat." Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah r.a.

Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Muhallaa (V/136), "Sebagian orang membolehkan duduk di atas kubur, mereka membawakan larangan tersebut bagi yang duduk untuk buang hajat.

Perkataan ini bathil, dilihat dari beberapa sisi:

Pertama: Takwil ini tidak didukung dalil dan cenderung memalingkan perkataan Rasulullah dari makna sebenarnya. Dan ini sangat keliru sekali.

Kedua: Lafazh hadits sama sekali tidak mendukung takwil tersebut! Rasulullah saw bersabda: 'Lebih baik salah seorang dari kamu duduk di atas kubur.'

Oleh karena itu, setiap orang yang punya naluri sehat pasti tahu bahwa duduk untuk buang hajat tidak seperti itu bentuknya. Kami tidak pernah mendengar seorang pun duduk dengan pakaiannya untuk buang hajat kecuali orang yang kurang beres akalnya.

Ketiga: Para perawi hadits tidak menyebutkan bentuk duduk yang dimaksud. Dan kami tidak pernah tahu secara bahasa kata jalasa fulan bemakna si fulan buang hajat. Jadi jelaslah kerusakan takwil ini, walillaahil hamd."

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/601-602.

KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG MENGUSAP MUKA DENGAN KEDUA TANGAN SESUDAH SELESAI BERDO'A


Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat



Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila mereka telah selesai berdo'a, mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangan.. Mereka yang mengerjakan demikian, ada yang sudah mengetahui dalilnya akan tetapi mereka tidak mengetahui derajat dalil itu, apakah sah datangnya dari Nabi shallallau 'alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena turut-turut (taklid) saja. Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya : "Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ..? Maka saya jawab ; "Tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, akan tetapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa'at bagi saudara-saudaraku

Hadits Pertama
"Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo'a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo'a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo'a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo'a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu". [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]

Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla’if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :

[1]. Kata Imam Bukhari, “Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)”.
[2]. Kata Imam Abu Hatim, “Munkarul hadits, dla'if.”
[3]. Kata Imam Ahmad bin Hambal, “Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)”.
[4]. Kata Imam Nasa'I, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”
[5]. Kata Imam Ibnu Ma'in, Dia itu dla'if.
[6]. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292]

Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : "Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah".
[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]

Hadits Kedua
Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :

"Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berdo'a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya". [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]

Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :

[1]. IBNU LAHI'AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]
[2]. HAFSH BIN HASYIM BIN 'UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul 'Itidal jilid I halaman. 569].

Hadits Ketiga
Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :

"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo'a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya". [Riwayat : Imam Tirmidzi]

Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.

[1]. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
[2]. Imam Al-Hakim dan Nasa'i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Adapun tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo'a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’anya".
[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 halaman 519].

Saya berkata : Perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, sangat benar dan tepat sekali. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di bawah ini saya sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :

[1]. Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[2]. Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[3]. Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo'a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
[4]. Oleh Abu Musa Al-Asy'ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
[5]. Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
[6]. Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
[7]. Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
[8]. Oleh Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).

Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan fi’il (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan qaul (perkataan/sabda) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada diriwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Apabila kamu meminta (berdo'a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan punggung (tangan)". [Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486]

Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) :

"Artinya : Permintaan (do'a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu". [Riwayat Abu Dawud No. 1486]

Kata Ibnu Abbas (Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :

“Artinya : Permintaan (do’a) itu yaitu engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu” [Riwayat Abu Dawud No. 1489]

Adapun tentang tambahan "mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a" telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.

Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo'a.

"Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu'minim sebagaimana Ia telah perintahkan para Rasul, Ia telah berfirman : "Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui ". (Surat Al-Mu'minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : "Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami telah rizkikan kepada kamu". (Surat Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo'a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya) : "Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do'a) nya itu".[Shahih Riwayat Muslim 3/85]

Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo'a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do'anya karena : Makanannya, minumannya, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram[2]

KESIMPULAN
[1]. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo'a. Semua hadits-haditsnya sangat dla'if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.
[2]. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID'AH.
[3]. Berdo'a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi'il dan qaul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah sah.
[4]. Ada lagi kebiasaan bid'ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.[3]

[Disalin dari buku Al-Masas-il (Masalah-masalah agama) Jilid 1, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qlam, Jakarta, Cetakan III Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[1]. Apabila yang meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi’ah bukan Abdullah bin Mubarak atau Abdullah bin Wahab atau Abdullah bin Yazid. Kalau salah satu dari tiga orang di atas meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah, maka haditsnya Ibnu Lahi’ah shahih atau sekurang-kurangnya hasan. Sedangkan riwayat di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang yang saya terangkan di atas.
[2]. Diantara faedah dari hadits yang mulia ini ialah :
(1). Sunnat berdo’a dengan mengangkat kedua tangan.
(2). Bertawwassul di dalam berdo’a dengan nama dan sifat Allah seperti : Ya Rabbi, Ya Rabbi.
(3). Perintah makan dan minum dari zat yang halal dan dari hasil yang halal.
(4). Larangan makan dan minum dari zat yang haram seperti babi dan khamr dan dari hasil yang haram.
(5). Salah satu syarat diterimanya do’a ialah dengan makan dan minum yang halal.
(6). Salah satu dari sekian sebab tidak diterimanya do’a seseorang karena makanan dan minumannya dari yang haram atau diberi makan dari yang haram.
[3]. Ditulis tanggal 5-10-1985


Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah

( Akidah, Ibadah, Ahlak & Dakwah )

Bagian I

MAKNA MANHAJ DAN AHLUSSUNNAH

I. Makna Manhaj

Secara bahasa kalimat “manhaj“ berasal dari kata –nahaja- yang berati jalan yang terang. Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang, Allah I berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”.

Ibnu Abbas t berkata:

وَاللهِ مَا مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ حَتَّى تَرَكَ السَّبِيْلَ نَهْجًا وَاضِحًا

“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas”

Adapun manhaj yang dimaksud di sini adalah jalan hidup Rasulullah e yang kemudian dilalui oleh para sahabat, Tabi’in dan pengikutnya dalam kebenaran hingga hari kiamat, sebagaimana firman Allah I :

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

II. Makna Ahlussunnah wal jamaah.

Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. Dan kata Sunnah yang berarti apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiyamat.

Namun dalam perspektif syariah (fiqh) kata sunnah sering diartikan dengan Perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud dengan As-Sunnah" di sini adalah adalah,” Thariqah (jalan hidup) Nabi r yang juga dilalui oleh para shahabat yang telah selamat dari syubhat dan syahwat". Fudhail bin Iyadh berkata,”Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal".

Karena tidak memakan yang haram termasuk salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi r dan para shahabat.

Dengan demikian maka Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah r dan sunnah shahabatnya. Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar Rasulullah r dan atsar para shahabatnya adalah Ahlus Sunnah".

Adapun kata jamaah berarti bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari sahabat, tabiin dan ulama–ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari Kiyamat.

Sedangkan menurut istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ” Ahlussunnah wal jamaah adalah orang yang mengamalkan sunah Rasulullah dan berkumpul di dalamnya dengan beribadah kepada Allah baik dalam masalah aqidah (keyakinan), perkataan, perbuatan, dan panutannya adalah Shalafusshalih dari sahabat, tabiin dan pengikut tabiin”.

III. Kreteria Ahlussunnah wal jamaah

DR. Nashr Al-Aql dalam kitabnya “Mafhum Alhlussunnah inda Ahllussunnah”, menyebutkan beberapa kreteria Ahlussunnah wal jamaah di antaranya;

1. Mereka adalah sahabat Rasulullah yang mengerti, melihat dan mengamalkan sunnah Rasullullah pertama kalinya, oleh sebab itulah mereka berhak mendapat gelar demikian. Begitu juga para tabiin yang mengambil sunnah dari sahabat dan mengamalkannya tanpa menambah dan menguranginya. Dan juga para pengikut tabiin dan orang-orang setelahnya sampai hari kiyamat yang berusaha mencontohi dan mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah.

2. Ahlussunah adalah para salafusshalih yang mengamalkan Kitab dan Sunah sesuai dengan petunjuk Rasulullah, Yang mengikuti teladan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama yang tidak pernah merubah dan membuat hal-hal yang baru dalam agama Allah.

3. Ahlussunnah wal jamaah adalah firqatunnajiyah (golongan yang selamat) di antara golongan-golongan yang ada. Yang selalu mendapatkan pertolongan dari Allah sampai hari kiyamat.

4. Mereka adalah orang–orang yang ghuraba’ (asing) karena tetap berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam keadaan yang orang lain melupakan dan meninggalkannya. Mereka juga memperjuangkan tegaknya As-Sunnah di saat tersebarnya bid’ah dan kesesatan dan kerusakan, sebagaimana sabda Nabi e,”Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana semula. Maka beruntunglah orang–orang yang asing”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Beruntunglah al-Ghuraba’ yaitu orang yang shalih di tengah manusia yang jahat, orang yang mengingkarinya lebih banyak dari yang mengikutinya.

5. Dinamakan Ahlussunnah karena mereka mengamalkan sunah sebagaimana mestinya. Berdasarkan sabda Nabi e “Amalkanlah sunnahku”.

Penamaan Ahlussunnah dilakukan setelah terjadinya fitnah pada awal munculnya firqah-firqah. Ibnu Sirin berkata,”Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Mereka melihat bila ia termasuk Ahlus Sunnah hadits mereka diambil, dan bila termasuk ahlul bi'dah maka hadits mereka tidak di ambil".

Al-Imam Malik pernah ditanya :"Siapakah Ahlus Sunnah itu ?. Beliau menjawab,”Ahlussunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal seperti Jahmi, Qadari, atau Rafidli".

Istilah Ahlus Sunnah sudah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) sebagai kebalikan dari istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Ahlus Sunnah adalah orang yang tetap berpegang pada sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah e dan para shahabatnya. Jadi gelar Ahlussunnah bukanlah hal-hal yang muhdats (dibuat-buat baru), tetapi mempunyai sandaran syar’I yaitu:

1. Sunnah Rasulullah e karena beliau memerintahkan untuk mengamalkan sunnahnya. Dan memerintahkan untuk berjamaah dan melarang untuk berpecah belah dan keluar darinya. Jadi Ahlussunnah adalah gelar yang diberikan langsung oleh Rasulullah e.

2. Bersumber dari atsar para sahabat dan generasi terbaik umat ini dari sifat mereka yang telah disepakati oleh para ulama umat yang mereka tulis dalam kitab-kitabnya.

3. Sebuah nama yang dipakai untuk membedakan mereka dengan pelaku bid’ah, bukan seperti yang dituduhkan bahwa istilah ahlussunah tidak muncul kecuali setelah terjadi perpecahan di antara umat Islam.

IV. Apakah mereka terbatas hanya pada satu masa dan tempat?.

Ahlussunnah tidak hanya terbatas pada satu priode dan tempat. Tetapi terkadang mereka lebih banyak di suatu tempat atau masa dan berkurang di masa atau tempat yang lain.

Beberapa karakteristik dari Ahlussunah yang disebutkan sendiri oleh para salafusshalih adalah ;

1. Mereka yang berpegang pada tali Allah yang kuat.

Abu Bakar al-Shiddik t berkata, “ As-Sunnah adalah tali Allah yang kuat, barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah memutus talinya Allah”, Umar bin al-Khattab t menambahkan,“Sesungguhnya Ashabussunan (pengamal sunnah) itu lebih mengetahui tentang Kitabullah.

2. Mereka adalah teladan baik yang mengajak kepada jalan yang benar.

Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143 H) berkata, “Apabila anda melihat seorang pemuda yang tumbuh dewasa bersama Ahlussunnah maka peliharalah, dan kalau besar bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu darinya. Karena sifat seorang akan tumbuh dewasa sesuai dengan masa kanaknya”. Dalam kitab kitab yang sama ditambahkan, “Sesungguhnya pemuda apabila bergaul dengan orang alim maka akan selamat, tetapi apabila bergaul dengan yang lainnya maka akan terpengaruh Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H) berkata, “Termasuk nikmat Allah kepada pemuda apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul dengan pelaku sunnah”.

Demikian juga yang dikatakan oleh as-Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah”. Dan dari Ibnu Abbas diriwayatkan ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 106 beliau mengatakan,” Adapun orang yang putih mukanya adalah Ahlussunnah wal Jamaah, dan orang yang hitam mukanya adalah ahli bid’ah dan kesesatan “.

3. Mereka tidak mau diberi gelar dan atribut kecuali dengan nama Ahlussunah.

Barang siapa yang bergabung pada kelompok yang bukan Ahlussunah maka akan mendapatkan kerugian dan kebinasaan karena Ahlussunah-lah golongan yang selamat karena mendapatkan pertolongan dari Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah jalannya orang–orang yang mukmin. Ibnu Abbas berkata,”Barang siapa yang mengikuti kelompok-kelompok pelaku bid’ah ini maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari dirinya.“ . Ketika Imam Malik ditanya siapakah Ahlussunnah itu ?, beliau menjawab, “Mereka orang yang tidak mempunyai nama lain atau identitas yang dikenal dengannya seperti Jahamiy (pengikut kelompok Jahamiyah), Rafidhiy (pengukut Rafidhah) atau Qadhariy (pengikut Qadariyah)”.

Begitu juga jawaban Ibnu Al-Qayyim ketika ditanya tentang Ahlussunnah beliau berkata, “Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlussunnah”. Malik bin Maglul lebih tegas lagi mengatakan, “Apabila ada seorang menamakan dirinya dengan bukan Islam dan As-Sunnah maka masukkanlah dia pada agama apapun yang kamu kehendaki. Maka Maimun bin Mahran menasihatkan untuk jangan sekali-kali menamakan dirinya dengan nama selain Islam “.

Referensi:

1. Muzilul Ilbas fi al-Ihkam ‘ala an-Naas, editor Syaikh Sa’d bin Shabir Abduh.

2. Ta’rif al-Khalaf bi Manhaj al-Salaf, DR. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan

3. Al-Minhaj baina al-Ishalah wa al-Tagrib, DR. Muhammad bin Shalih Ali Jan

Bagian II

Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah e dalam sabdanya,”Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian".

Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah, yang pada masa Rasulullah e mereka adalah umat yang satu sebagaimana firman Allah I ,”Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku".

Orang Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah ,

Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran".

Namun Rasulullah e memberitahukan akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau,” Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku".

Dan sabda beliau e,”Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini".

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong), dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut:

Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi e,” Seluruhnya di atas neraka kecuali satu (Maksudnya yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu).

Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu) dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda,”Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".

Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting;

pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah, atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij.

Kedua, mereka adalah Ahlul Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan.

Mereka adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya dalam menolong agama Allah , sebagaimana firman-Nya,

Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka".

Rasulullah e bersabda, "Tidak ada yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian".

Di antara prinsip dan manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:

Prinsip Pertama: Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir-Nya.

Beriman kepada Allah I artinya meyakini Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan Asma wa –Sifat-Nya. Allah I berfirman,

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Juga firman Allah I,

Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya".

Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan mereka adalah mahluk mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah Allah di dunia. Allah I berfirman,”Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya".

Iman kepada Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala kandungannya berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dan yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, karena ia sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,

Katakanlah (Hai Muhammad) : 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu".

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani Al-Qur'an kalam (firman) Allah, bukan makhluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Mu'tazilah yang mengatakan Al-Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya. Juga berbeda dengan Asyaa'irah yang mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah artinya, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Kedua pendapat tersebut bathil berdasarkan firman Allah ,

Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an)".

Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang disebutkan namanya oleh Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah nabi Muhammad , tidak ada nabi sesudahnya. Termasuk beriman kepada para rasul adalah tidak menyepelekan mereka dan tidak berlebih-lebihan terhadap mereka seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, Allah I berfirman,

Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah.

Sebaliknya orang-orang sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum..". penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak membeda-bedakan antara semua Rasul, sebagaimana firman Allah ,

Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....".

Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hisab (perhitungan), mizan (ditimbangnya) segala perbuatan dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau kiri, jembatan (sirat), serta Surga dan Neraka. Keimanan yang membuat bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan jelek dan serta bertaubat dari dosa. Berbeda dengan orang-orang musyrik dan dahriyyun yang mengingkari adanya hari kiamat, atau orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya dengan benar, Allah berfirman,

Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......".

Juga firman Allah I,

Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja"..

Iman kepada taqdir maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul mahfudz. Segala sesuatu yang terjadi berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah . Allah mencintai keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau kemaksiatan, tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan Jabariyah yang mengatakan manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan. Sebaliknya Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan dialah yang menciptkan pekerjaannya. Kemauan dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya,

Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya".

Prinsip Kedua, iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'siatan.

Iman bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan keimanan kaum munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman,

Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu".

Iman juga bukan sekedar keyakinan dalam hati atau perkataan tanpa perbuatan karena yang demikian adalah keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..."

Juga firman Allah ,

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian"

Prinsip Ketiga: Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.

Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun tidak kekal di neraka, sebagaimana firman Allah ,

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.

Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. Mereka mengatakan dosa dan ketaatan tidak berpengaruh pada iman.

Prinsip Keempat: Wajib ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak memerintahkan untuk kema'shiyatan.

Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allah berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..."

Diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyyah, Rasulullah e bersabda,”Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasulullah e, sebagaimana sabdanya,”Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para pemimpin yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

Prinsip Kelima: Haramnya memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.

Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibkan keluar dari pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka itu termasuk kemunkaran yang besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi umat.

Prinsip Keenam: Tidak mencela dan membenci para sahabat Rasulullah.

Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana firman Allah I, ”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Rasulullah e bersabda,”Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya".

Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.

Prinsip Ketujuh: Mencintai Ahlul bait (Keluarga) Rasulullah e.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasul dengan sabdanya,”Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku".

Termasuk Ahlul bait adalah keluarga Rasulullah yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh Allah , sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya".

Prinsip Kedelapan: Membenarkan adanya karomah para wali Allah.

Karomah yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa sesuatu yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda dengan Muktazilah dan Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.

Namun sebagian orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, mereka berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah seperti jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah karomah merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh dan bersumber dari Allah semata. Sedangkan sihir adalah kejadian yang luar biasa yang diperlihatkan para tukang sihir dan orang-orang kafir dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka dan bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.

Prinsip Kesembilan: Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah e baik secara lahir maupun bathin sesuai dengan pemahaman Salafussalih.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah e,”Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Segala hal yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah ,

Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya".

Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut disesuaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi. Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling mencintai satu sama lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Prinsip kesepuluh: Prinsip-prinsip di atas menjadikan mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.

Diantara sifat-sifat mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana firman Allah I,” Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah".

Rasulullah e bersabda,”Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.

Mereka juga menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi,” Agama itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya".

Mereka juga tegar dalam menghadapi ujian-ujian dan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah.

Singkatnya mereka selalu berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana firman Allah ,

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".

Rasulullah e bersabda,” Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya".

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad e, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.

Disarikan dari buku “Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah” Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Terj. Abu Aasia, terbitan Dar Al-Gasem PO Box 6373 Riyadh.

Bagian III

Manhaj Ibadah Ahlussunnah wal Jamaah

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:

أهل السنة يعبد الله، لله، بالله, وفي الله

Ahlussunnah beribadah kepada Allah, karena Allah, dengan pertolongan Allah dan dalam agama Allah ”.

Ahlussunnah ya’budullah (beribadah kepada Allah) lillah maksudnya adalah ikhlas kepada Allah semata untuk mencari ridha-Nya. Mereka tidak beribadah kepada Allah supaya dilihat, dipuji orang dan agar digelari seorang ahli ibadah. Dari Amirul Mu’minin Abu Hafsh Umar bin Khothob berkata,” Saya mendengar Rosululloh r bersabda,” Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung dari apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah kepada dunia yang dia cari atau wanita yang dia ingin nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya.

Adapun billah maksudnya meminta tolong kepada Allah . Seorang tidak akan mungkin bisa beribadah kepada Allah dengan sendirinya, tetapi ia meminta pertolongan kepada Allah sebagaimana firman Allah :

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan

Adapun fillah yaitu pada agama Allah yang disyariatkan melalui Rasulullah tanpa ditambah dan dikurangi. Mereka tidak keluar dari agama Rasulullah, mereka bersihkan ibadah mereka dari kesyirikan dan bid’ah sebagaimana firman Allah :

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Ibadah mereka bukan didorong oleh nafsu dan akalnya, akal yang sehat tidak akan membolehkan seorang mukmin untuk keluar dari syariat Allah. Karena berpegang pada syariat Allah termasuk bagian dari akal yang sehat. Itulah sebabnya Allah menyebut orang–orang yang mendustakan Rasulullah sebagai orang yang tidak berakal, sebagaimana firman-Nya:

Tetapi kebanyakan mereka tidak berakal

Seandainya kita beribadah kepada Allah menurut nafsu kita, niscaya akan terjadi perpecahan dan pengelompokan yang setiap orang menganggap baik pendapatnya untuk beribadah kepada Allah. lihatlah mereka yang beribadah kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang bid’ah yang tidak disyariatkan oleh Allah, bagaimana antar mereka saling membenci dan saling menyalahkan. Mereka mengkafirkan orang lain dengan sesuatu yang sebenarnya mereka tidak kafir tetapi hawa nafsunya yang membutakan mereka.

Seandainya kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat Allah , bukan dengan hawa nafsu niscaya kita akan menjadi satu umat. Karena syariat Allah adalah petunjuk bukan hawa kita. sebagian ahli bid’ah yang melakukan bid’ah dalam masalah aqidah atau amal, berdalil dengan sabda Nabi:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَي يَوْمِ القِيَامَةِ

Barangsiapa yang membuat teladan yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat

Kita mengatakan kepadanya,” Apakah yang anda anggap baik dalam bid’ah ini tidak diketahui oleh Rasulullah?. Atau beliau mengetahuinya tetapi menyembunyikannya sehingga tidak ada kalangan salaf yang mengetahuinya, kemudian beliau simpan untuk anda?.

Apabila mereka mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui kebaikan bid’ah ini sehingga beliau tidak ajarkan”. Kita menjawab,”Anda telah menuduh Rasulullah dengan sangat keji yaitu bodoh terhadap agama Allah dan syariat-Nya”. Bila mereka mengatakan,” Rasulullah mengetahuinya, tapi tidak menyampaikannya kepada orang lain”. Ini tuduhan yang lebih keji, anda menganggap Rasulullah seorang yang bergelar “al-Amin” (amanah), seorang pengkhianat dan tidak mengajarkan pengetahuannya.

Bisa juga mereka berkata,” Rasulullah mengetahuinya, mengajarkannya tapi belum sampai kepada kita”. Kita mengatakan kepada mereka bahwa anda telah menentang firman Allah yang menyebutkan:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya kami menurunkan Al-Dzikr dan Kami yang akan menjaganya” .

Apabila syariat Allah hilang sehingga tidak sampai kepada kita, artinya Allah tidak menjaga syariat-Nya, bahkan kurang dalam menjaganya sehingga hilang sebagian dari yang ada dalam Al-Qur’an.

Kesimpulannya, setiap orang yang melakukan bid’ah dalam masalah agamanya baik dalam aqidah atau ibadah berupa ucapan maupun perbuatan, maka dia adalah orang yang sesat, sebagaimana sabda Nabi:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Setiap bid’ah adalah sesat

Hadits ini umum mencakup setiap bidah dalam masalah agama, ia sesat dan tidak ada kebaikan di dalamnya, Allah berfirman:

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”.

Adapun hadits Rasulullah eBarangsiapa yang membuat teladan dalam Islam” tidak menjelaskan tentang bid’ah, karena semua yang bukan ajaran Rasulullah tidak termasuk dari Islam. Itulah sebabnya ditambahkan dengan “sunnah yang baik” karena ia termasuk yang diakui oleh Islam.

Sababul Wurud (Sebab munculnya) hadits tersebut menunjukkan bahwa maksudnya adalah segera untuk mengamalkan sunnah. Sekelompok orang faqir datang kepada Rasulullah, kemudian beliau menganjurkan orang untuk bersedekah kepada mereka. seorang dari Anshar datang dengan membawa sekeranjang korma kemudian memberikan kepada orang-orang tersebut. Dan orang-orang mengikutinya. Maka Rasulullah bersabda dengan hadits di atas.

Dengan demikian maksudnya bukan membuat syariat baru, tetapi mengamalkannya, menjadi teladan dalam mengamalkannya di hadapa orang sehingga ia menjadi teladan yang baik dan mendapatkan pahalanya sebagaimana pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.

Sebagian ahli bidah berhujjah dengan kaidah itu sebuah sarana untuk kebaikan seperti mengumpulkan al-Qur’an, mendirikan sekolah dll, yang hanya sebagai sarana bukan tujuan.

Ada perbedaan antara sesuatu yang menjadi sarana untuk tujuan baik yang ditetapkan oleh syariat, tetapi tidak bisa terwujud kecuali dengan melakukan sarana tersebut, dan sarana ini berkembang seiring perkembangan zaman, misalnya firman Allah :

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi”.

Persiapan kekuatan di zaman Rasulullah berbeda dengan persiapan kekuatan di zaman kita. Maka bila kita melakukan suatu perbuatan yang merupakan persiapan kekuatan, maka ia bid’ah sarana bukan gayah (tujuan) yang seseorang beribadah kepada Allah dengannya. Kaidah yang sudah disepakati menyebutkan,” Anna Lil Wasaa’il Ahkaam al-Maqashid”, (Sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya). Semua yang dilakukan adalah saran untuk tujuan yang terpuji.

Mengumpulkan Al-Qur’an dan mencetaknya merupakan sarana untuk tujuan yang disyariatkan. Hendaknya dibedakan antara sarana dan tujuan. Sesuatu yang sendirinya merupakan sebuah tujuan, maka ia telah disyariatkan oleh Allah dan diwahyukan kepada Rasulullah sebagaimana firman Allah :

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”,

Seandainya amalan bid’ah merupakan penyempurna syariat, niscaya sudah disyariatkan, dijelaskan dan disampaikan dan dijaga. Ia bukan menyempurnakan syariat bahkan ia menguranginya.

Sebagian orang mengatakan bahwa dalam perbuatan bidah tersebut bisa membersihkan hati, semangat beragama dan lainnya. kita katakan bahwa Allah telah memberitahu kita bahwa syaitan bersumpah:

Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”.

Syaitan memperindah di hati manusia untuk memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah . Rasulullah telah mengingatkan bahwa syaitan masuk ke dalam diri manusia seperti darah yang mengalir. Dan ini selaras dengan firman Allah I :

Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah

Allah menjadikan syaitan berkuasa pada orang-orang yang berpaling dari Allah dan menyekutukan-Nya. Dan setiap orang yang menjadi pengikut bidah di dalam agama Allah , maka ia telah menyekutukan Allah dan menjadikan orang yang diikuti ini sebagai sekutu Allah dalam masalah hukum. Padahal hukum syar’i itu hanya milik Allah sebagaimana firman-Nya:

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”, .

Ketahuilah!, semoga Allah merahmatimu, bahwa tidak ada jalan yang bisa mengantarkan kita kepada Allah kecuali dengan jalan yang telah ditentukan oleh Allah lewat Rasul-Nya. “Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi, seandainya seorang raja menentukan sebuah pintu untuk masuk menemuinya dan berkata,”Barangsiapa yang ingin menemui saya, maka hendaknya masuk lewat pintu ini”. Bagaimana pendapat anda bila ada orang yang ingin menemui raja lewat pintu lain, apakah ia bisa bertemu dengannya?.

Allah telah menentukan jalan khusus untuk menemui-Nya yaitu jalannya Rasulullah, yang tidak mungkin seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan menempuh jalan Rasulullah.

Penghormatan kepada Rasulullah dan termasuk adab kepada beliau adalah mengerjakan apa yang beliau kerjakan dan meninggalkan apa yang beliau tinggalkan. Kita tidak mendahului beliau dalam agamanya, berkata dalam agamanya yang beliau tidak pernah katakan da mengadakan suatu ibadah yang tidak pernah beliau syariatkan.

Apakah termasuk mencintai Rasulullah seorang yang mengada-ada dalam masalah agama, padahal beliau bersabda,”Setiap bid’ah itu sesat”. Juga beliau bersabda,” Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan agama maka ia tertolak”. Apakah ini merupakan kecintaan kepada Rasulullah? Dengan membuat syariat dalam agama Allah sesutu yang tidak pernah disyariatkan?. Allah I berfirman:

“Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".

Diterjemahkan dari “Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah-Thariqatu Ahlussunah fi Ibadatillah” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Jama'ah