Manusia Perilaku Terpuji

Oleh : Abu Abdillah Handy Al-Basri

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji total hanya untuk dan milik Alloh swt. Tiada yang berhak menyandang sifat terpuji yang paling agung kecuali hanya Alloh saja.Makhluknya hanya berupaya dan berusaha untuk bisa bersikap dan berperilaku terpuji bukan untuk menyamai-Nya,melainkan hanya untuk mengharap ridho dari-Nya,agar dicintai oleh-Nya.Sholawat akan terus kita curahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad saw. kepada keluarganya,shohabatnya,dan juga pengikutnya yang insyaAlloh diberikan syafaat olehnya di akhirat kelak,Amiin…

Sahabatku yang dimuliakan Alloh,Manusia yang paling mulia adalah yang paling baik akhlaknya,sehingga dengan mulia akhlaknya maka akan paling bertaqwa kepada Alloh jikalau dia memang manusia yang beriman kepada-Nya.ini sesuai dengan firman Alloh swt dalam Al-Qur’an yang mengatakan innaakromakum’indallohiatkookum,yang artinya sebaik-baik kalian di hadapan Alloh adalah yang paling bertaqwa.oleh karena itu,kita memang harus bisa menjadikan taqwa sebagai bekal di dalam kehidupan sehari-hari.

Orang yang berperilaku terpuji,maka dia tentu akan disenangi oleh orang lain,karena memang fitrah manusia adalah menyukai sesuatu yang baik,yang terpuji,dan yang indah.Oleh karena itu,jikalau kita ingin disenangi orang lain serta dicintai Alloh dan Rosul-Nya,maka kuncinya adalah berperilakulah terpuji.Namun,seperti apakah perilaku terpuji itu? Nah,itu lah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini,agar dengan mengatahuinya,kita dapat memahami dan mengimplikasikan dalam kehidupan kita.

Sebuah hadist Shohih yang diriwayatkan dari Imam Muslim mengatakan, Dari Nawwas ibn Sam’an r.a. berkata : Aku bertanya kepada Rosululloh saw. tetang al-bir dan al-itsm.Nabi saw. menjawab : “Al-Bir itu adalah berakhlak baik,sedangkan al-itsm itu adalah sesuatu yang tergores di dalam hati mu dan kamu akan tidak senang bila orang lain mengetahuinya.(HR.Muslim).Adapun maksud dari hadist ini adalah bahwa kebaikan itu berada dalam kebaikan akhlak.hal ini karena seorang yang berkahlak akan senatiasa menampakkan perbuatannya yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk.[1] Jadi yang namanya akhlak terpuji adalah akhlak yang menampakkan kebaikkan akhlak dari dirinya dan juga meninggalkan perbuatan yang buruk.Selain itu ada hadist shohih lainnya yang mengatakan bahwa : “mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim: 2553).[2]Jadi jikalau seorang mukmin dikatakan paling sempurna imannya,maka lihatlah akhlak nya,jikalau paling baik akhlaknya,maka sempurnalah imannya,begitulah yang dikatakan oleh Rosulullah saw yang mulia.Begitu banyak hadist-hadist yang menjelaskan keutamaan orang yang berkahlak mulia atau terpuji.Salah satu contoh akhlak terpuji adalah yang dikatakan dalam hadist Bukhori yang satu ini, Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Nabi saw berkata : “Sungguh kejujuran itu menunjukkan pada kebaikkan dan kebaikkan itu menunjukkan jalan ke surga,dan sungguh seorang itu benar jujurnya sampai ia kenal seorang yang jujur;dan sungguh dusta itu akan menunjukkan jalan ke neraka,dan sungguh seorang yang benar berbohong sampai ia kenal seorang pendusta.”(HR.Bukhori).Penjelasan dari hadist ini adalah bahwa kejujuran adalah puncak keutamaan yang menjadikan dasar tegaknya masyarakat,tertibnya segala urusan,dan perjalanan hidup yang terpuji.Kejujuran juga akan mengangkat tinggi martabat seorang di hadapan orang banyak,tempat kepercayaan,dicintai banyak orang.[3] Kejujuran juga menjadi salah satu indikator perilaku terpuji,sehingga jikalau seorang tersebut benar-benar teguh menjaa kejujuran di dalam setiap perkataan dan perbuatannya,maka orang tersebut telah mengaplikasikan sikap terpuji tersebu,Namun selain kita bersikap dan berkata jujur kita juga diperintahkan untuk bersama orang-orang yang jujur,seperti lanjutan dari kalimat hadist di atas.Hal tersebut sejalan dengan apa yang difimankan Alloh swt dalam Al-Qur’an yang mengatakan :

$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qçRqä.ur yìtB šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÊÊÒÈ

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.(Q.S.At-Taubah : 119).

Dalam ayat ini jelas sekali Alloh memerintahkan kita agar bertaqwa kepada-Nya dan juga agar kita bersama orang-orang yang jujur.

Selanjutnya,ciri-ciri orang yang berperilaku atau berakhlak terpuji adalah menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.Amar Ma’ruf ber’arti menyuruh kepada kebaikan,sedangkan Nahi Mungkar adalah mencegah atau melarang dari yang Mungkar.dua hal ini merupakan perintah yang harus ditegakkan oleh orang yang beriman karena merupakan perintah Alloh swt.

öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3

kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S.Ali Imron : 110)[4]

Ayat ini menjelaskan bahwa kita ummat Islam adalah ummat terbaik yang Alloh ciptakan untuk seluruh ummat manusia dan diperintahkan untuk menyuruh kepada yang ma’ruf(kebaikan) dan mencegah dari yang mungkar(jelek) dan tentunya yang paling penting adalah beriman kepada Alloh swt. Kalau kita perhatikan susunan ayat di atas kita dapatkan bahwa penyebutan amar ma’ruf dan nahy munkar (menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar) didahulukan dari pada penyebutan iman kepada Allah, padahal iman kepada Allah merupakan derajat tertinggi dan lebih dahulu keberadaannya, bahkan amar ma’ruf dan nahy munkar merupakan konsekwensi iman kepada Allah.Ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya amar ma’ruf dan nahy munkar, dan umat yang melakukannya adalah umat yang terbaik, karena umat itu telah mencurahkan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan kebaikan dan mencegah timbulnya kejahatan bagi umat manusia.Sedangkan Hamka berpendapat bahwa pokok dari amar ma’ruf adalah mentauhidkan Allah, Tuhan semesta alam. Sedangkan pokok dari nahi munkar adalah mencegah syirik kepada Allah. Implementasi amar ma’ruf nahi munkar ini pada dasarnya sejalan dengan pendapat khalayak yang dalam bahasa umumnya disebut dengan public opinion, sebab al ma’ruf adalah apa-apa yang disukai dan diingini oleh khalayak, sedang al munkar adalah segala apa yang tidak diingini oleh khalayak. Namun kelalaian dalam ber-amar ma’ruf telah memberikan kesempatan bagi timbulnya opini yang salah, sehingga yang ma’ruf terlihat sebagai kemunkaran dan yang munkar tampak sebagai hal yang ma’ruf.

Saudaraku yang budiman,setelah dua hal tadi di atas yang menjadi indikator seseorang berkahlak terpuji,maka hal terakhir adalah jadilah kita manusia yang bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia yang ada.tidak peduli agama apapun,tidak peduli suku atau ras apapun,tugas kita agar menjadi manusia yang paling baik dan terpuji adalah bisa bermanfaat bagi manusia lainnya.ini sesuai dengan hadist Nabi saw yang menyatakan : “Khairunnas anfa’uhum linnas” “Sebaik-baik manusia diantaramu adl yg paling banyak manfaat bagi orang lain.” Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib- tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib sunat mubah makruh atau malah manusia haram? Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadan sangat dirindukan sangat bermamfat perilaku membuat hati orang di sekitar tercuri. Tanda-tanda yg nampak dari seorang manusia wajib diantara dia seorang pemalu jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku keseharian lebih banyak kebaikannya. Ucapan senantiasa terpelihara ia hemat betul kata-kata sehingga lbh banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahan tak suka mencampuri yang bukan urusan dan sangat ni’mat kalau berbuat kebaikan. Hari-hari tak lepas dari menjaga silaturahmi sikap penuh wibawa penyabar selalu berterima kasih penyantun lemah lembut bisa menahan dan mengendalikan diri serta penuh kasih sayang.Bukan kebiasaan bagi yang akhlak baik itu perilaku melaknat memaki-maki memfitnah menggunjing bersikap tergesa-gesa dengki bakhil ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah ramah tamah mencintai karnu Allah membenci karnu Allah dan marah pun karena Allah SWT subhanallaah demikian indah hidupnya.[5]

Demikian pembahasan saya kali ini mengenai ciri-ciri dari orang yang terpuji,semoga dengan pembahasan kali ini bisa menjadi inspirasi bagi anda semua dan juga bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Amiin ya Robba’alaamin…



[1] Buku Hadist Arba’in: Masalah Aqidah,Syari’ah,dan Akhlaq,Oleh Ayat Dimyati,hal 158-159.

[2] http://one.indoskripsi.com/node/6500

[3] Buku Hadist Arba’in: Masalah Aqidah,Syari’ah,dan Akhlaq,Oleh Ayat Dimyati,hal 158&160.

[4] Kitab Tarjamah Riyadhus Sholihin,jilid 1,Oleh Drs.Muslich Shabir.

[5] Ceramah KH.Abdulloh Gymnastiar.







Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi Usamah (dalam Musnadnya, 1/500 no. 437, pen.) dan di dalam sanadnya ada seorang rawi yang gugur periwayatannya (saqith). Hadits ini memiliki syahid (pendukung) yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (di dalam As-Sunanul Kubra, 5/350 dan Ma’rifatus Sunan wal Atsar, 4/391, pen.). Pendukung lainnya adalah hadits mauquf (riwayat yang sampai pada shahabat saja tidak sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu (lihat Bulughul Maram, Kitabul Buyu’, Bab As-Salam wal Qardh war Rahn, hadits no. 812, -pen).” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish (3/997): “Dalam sanad hadits ini ada Sawar ibnu Mush’ab , dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Hadits ini didhaifkan (dilemahkan) pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir (2/78), Abdul Haq di dalam Al-Ahkam, Ibnu Abdil Hadi dalam At-Tanqih (3/192) dan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil (5/236, hadits no. 1398).
Ketahuilah, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba . Namun karena haditsnya dhaif, tentunya kita tidak boleh memakainya sebagai hujjah. Hanya saja makna hadits di atas terpakai, diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) para ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu (dan yang lainnya ) bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan, penambahan kualitas ataupun kuantitas, termasuk riba. Pinjam meminjam pada asalnya adalah perbuatan kebaikan dimana seseorang memberikan kepada yang lain suatu barang atau uang, untuk nantinya dikembalikan yang sama pada waktu yang telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu yang lebih bagus/baik, terjadilah riba. (Al-Muhalla bil Atsar, 6/348, dan dalam Maratibul Ijtima’, hal. 165)
Dalam hal ini ada beberapa syubhat yang beredar di tengah kaum muslimin yang sengaja disebarkan oleh ahlus syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut jawabannya dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari (hal. 146-148) yang ditulis guru kami Asy-Syaikh Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adni hafizhahullah.
Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam meminjam (qardh) yang memberi faedah. Dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:
Pertama: Riba yang diharamkan hanyalah riba jahiliah, yaitu riba dalam hutang piutang. Misalnya, seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu, namun ternyata sampai tempo yang ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibatnya si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang, sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang tersebut (istilahnya: engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah).
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) di awal akad pinjam meminjam, mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.
Mereka yang berpendapat seperti ini di antaranya Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar, murid Muhammad Abduh, serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri, seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:
1. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentangnya hanyalah berupa ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:
a. Hal ini tidak bisa diterima, karena sebenarnya riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:
Bentuk pertama: Bentuk yang masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’
Bentuk kedua: Penetapan adanya tambahan (ziyadah) pembayaran/ pengembalian dari jumlah yang semestinya dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adalah riba jahiliah, disebutkan dalam Ahkamul Qur`an (1/563-564) karya Al-Imam Al-Jashshash.
b. Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yang ada dalam surah Al-Baqarah hanya mencakup bentuk yang pertama, namun sebenarnya ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil akan haramnya ziyadah yang dipersyaratkan di awal akad. Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.
c. Ziyadah (tambahan) yang dipersyaratkan dalam akad hutang piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas dan dirham/perak) serta yang serupa dengan keduanya sebagai alat pembayaran seperti uang kertas, memang tidak dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Namun demikian, pengharamannya disebutkan dalam Sunnah.
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata, “Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000,-.” Pihak bank mengatakan, “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami catat dalam pembukuan kami jumlah Rp. 120.000,- sampai akhir tahun.”
Memang ayat-ayat tentang riba tidak menunjukkan keharaman bentuk seperti ini, namun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan secara jelas keharamannya. Dalam hadits disebutkan tentang enam macam barang yang terkena hukum riba:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (satu jenis gandum) dengan burr, sya’ir (satu jenis gandum juga) dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus sama timbangannya, dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia jatuh dalam riba.” (HR. Muslim no. 1587)
Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000,- kepada orang tersebut namun dicatat jumlahnya Rp. 120.000,- hingga waktu setahun, berarti pihak yang berhutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu:
مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ
(harus sama timbangannya dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat) . Mereka yang melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan dua macam riba, riba fadhl dan riba nasi`ah .
2. Menurut mereka, riba jahiliah dilarang karena mengambil ziyadah (tambahan) dari pokok harta (yang dipinjamkan). Hal itu terjadi karena tertundanya pembayaran hutang kepada pihak yang memberi piutang, bukan disebabkan ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.
Dijawab: Sebab yang disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yang mensyaratkan pembayaran tambahan (ziyadah).
3. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata, “Huruf lif dan lam pada kata الرِّبَا adalah lil-’ahd , sehingga riba yang dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal, dimaklumi dan diketahui kalangan orang-orang jahiliah yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yang ada pada kata riba tersebut lil-’ahd, yakni Rabb kita menyebutkan (dalam ayat) keharaman riba atas sesuatu yang tertentu yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah, maka As-Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat Al-Qur`an). Sehingga lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka ada yang mengatakan, “Riba adalah lafadz yang global, penafsirannya disebutkan dalam As-Sunnah.”
4. Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dengan akal. Ia berkata, “Ancaman yang keras dan cercaan yang demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepada dosa-dosa yang besar. Bila ada seseorang menukar 1 real perak dengan 4 real perak dengan serah terima yang ditunda sampai waktu tertentu, apakah bisa diterima oleh akal bahwa perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat yang melarang riba berupa diperangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah bila bentuknya seperti bentuk yang awal yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Jawabannya: Menggunakan akal dan pendapat dalam perkara yang telah disebutkan nash-nya secara syar’i adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal yang ditolak tersebut.
5. Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adalah riba yang menyebabkan kerusakan, kemudaratan, meruntuhkan rumah-rumah, dan memutuskan silaturahim.
Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lebih besar dan lebih tampak kedzalimannya daripada tambahan yang ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dalam riba jahiliah, seseorang memberi satu pinjaman kepada orang lain untuk dikembalikan dalam tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh tempo, orang yang meminjamkan berkata kepada pihak yang dipinjami, “Engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah (didenda).” Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentunya lebih tampak dan lebih jelas kedzalimannya.
Kemudian, apa yang dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dengan nash dan tidak sepantasnya ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya menghukumi (memutuskan perkara) di antara mereka, mereka akan mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’.” (An-Nur: 51)
6. Muhammad Rasyid Ridha berargumen dengan ucapan-ucapan ulama untuk membatasi riba yang dilarang hanyalah ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yang disebutkannya adalah Malik, Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ath-Thahawi, Asy-Syathibi, Ibnu Rusyd, Al-Mawardi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Jawabannya: Dalam hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dengan membatasi hukum. Tatkala ulama yang disebutkan di atas memaparkan hal itu, yang mereka maukan adalah menerangkan tentang riba yang masyhur dan dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukan untuk membatasi hokum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda halnya dengan apa yang dipegangi (diyakini) oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah, pada sebagian ucapan ulama yang disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha, di mana mereka menyatakan bahwa ini adalah bentuk riba jahiliah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bentuk-bentuk riba lain yang diharamkan seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.
Kedua: Membatasi riba hanya dalam jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam, riba (qardh) tidaklah berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:
1. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh haditshadits Rasulullah n. Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang berlakunya riba dalam qardh.
2. Mereka berdalil dengan penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yang membatasi riba hanya dalam jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yang lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan adanya riba dalam qardh sebagaimana dalam jual beli.
3. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma, sehingga tidak terjadi riba di dalamnya. Karena yang namanya riba hanya berlangsung pada sesuatu yang di dalamnya ada penggantian.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awalnya, namun pada akhirnya mereka menjadikannya perlu pengganti , yang berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adalah berderma, bila memang tujuannya untuk memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yang disyaratkan adanya ziyadah di dalamnya maka maksud atau tujuannya adalah meminta penggantian. Adanya syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli, bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh (pinjaman) hanyalah dilakukan untuk tujuan berbuat baik dan memberi manfaat bagi yang dipinjami. Beda halnya dengan qardh yang ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yang seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuannya meminta ganti, mendapat untung dan ziyadah.
4. Mereka berdalil dengan haditshadits yang menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam masalah qardh, seperti hadits:
خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”
Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa pemahamannya kepada qardh yang tidak ada persyaratan minta tambah dalam pengembalian. Sebagaimana orang yang meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yang dipinjami, maka disyariatkan pula bagi orang yang dipinjami untuk berbuat ihsan kepada orang yang meminjamkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هَلْ جَزَاءُ اْلإِحْسَانِ إِلاَّ اْلإِحْسَانُ
“Tidaklah balasan kebaikan (perbuatan ihsan) melainkan kebaikan pula (perbuatan ihsan pula).” (Ar-Rahman: 60)
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam (qardh) yang mengandung unsur riba. Sebagai penutup, bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh (pinjam meminjam) yang mensyaratkan adanya tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niatnya dalam qardh tersebut dan juga dalam melakukan amal shalih yang lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah untuk menambah harta secara hakiki, namun hanyalah untuk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memenuhi hajat orang-orang yang membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yang sesuai dengan besarnya pinjaman (tanpa ada syarat minta tambah atau syarat mendapatkan kemanfaatan lainnya, pent.). Bila yang seperti ini menjadi tujuan dalam qardh niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan barakah (keberkahan), penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/53). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. www.asysyariah.com



Belajar dari Wajah
Menarik sekali jika kita terus menerus belajar tentang fenomena apa pun yang terjadi dalam hiruk-pikuk kehidupan ini. Tidak ada salahnya kalau kita buat semacam target. Misalnya, hari ini kita belajar tentang wajah. Wajah? Ya, wajah. Karena masalah wajah bukan hanya masalah bentuknya, tapi yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si pemilik wajah tersebut.

Ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan dalam diri: "Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?" Karena pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang. Ya, karena setiap orang pastilah punya wajah. Wajah istri, suami, anak, tetangga, teman sekantor, orang di perjalanan, dan sebagainya. Nah, ketika kita berjumpa dengan siapa pun hari ini, marilah kita belajar ilmu tentang wajah.

Subhanallah, pastilah kita akan bertemu dengan beraneka macam bentuk wajah. Tiap wajah ternyata dampaknya berbeda-beda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Kenapa? Apa yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghujam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.

Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram. Subhanallah, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya, sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung kalbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari.

Ada pula seorang ulama yang tubuhnya mungil, dan diberi karunia kelumpuhan sejak kecil. Namanya Syekh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual gerakan Intifadah, Palestina. Ia tidak punya daya, duduknya saja di atas kursi roda. Hanya kepalanya saja yang bergerak. Tapi, saat menatap wajahnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.

Nah, saudaraku, kalau hari ini kita berhasil menemukan struktur wajah seseorang yang menenteramkan, maka caru tahulah kenapa dia sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, nampak ingin sekali ia membahagiakan siapa pun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu, bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.

Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita. Buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan, dan yang tidak menyejukkan.

Tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah, raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada diantara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapa pun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.

Sedangkan bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai? Nabi Muhammad saw memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bila ada orang yang menyapanya, menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau. Sesuai kadar kemampuannya.

Walhasil, ketika Nabi saw berbincang dengan siapa pun, maka orang yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan perhatian. Tak heran bila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Dan itu ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.

Ada pun kemuramdurjaan, ketidakenakkan, kegelisahan itu muncul karena kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh. Tidak punya daya pancar yang kuat.

Orang karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya kenapa sampai seperti itu? Lalu praktekkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!

Mudah-mudahan kita dapat mengutamakan orang lain di hadapan kita, walaupun hanya beberapa menit, walaupun hanya beberapa detik, subhanallah.




Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338)

Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)

Macam-macam riddah

1.Riddah dengan sebab ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.

2.Riddah dengan sebab perbuatan
Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.

3.Riddah dengan sebab keyakinan
Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.

4.Riddah dengan sebab keraguan
Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)

Hukum yang terkait dengan orang murtad

1.Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.

2.Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

3.Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.

4.Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.

5.Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33)

oleh

Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Dalam pembahasan yang lalu telah kami jelaskan bahwa Salafiyyah bukan suatu hizb (kelompok) atau golongan. Sesungguhnya dia adalah jama’ah yang berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dia bukanlah salah satu kelompok dari kelompok-kelompok yang muncul sekarang ini, karena dia adalah jama’ah yang terdahulu dari zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berlanjut terus-menerus di atas kebenaran dan nampak hingga hari kiamat sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dakwah Salafiyyah adalah dakwah kepada Islam yang murni bukan dakwah hizbiyyah. Imam dakwah Salafiyyah adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam yang datang berikutnya dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari kiamat.

Di antara daulah yang ditegakkan atas landasan dakwah Salafiyyah adalah daulah Su’udiyyah di jazirah Arabiyyah, yang dikenal sebagai pembela dakwah Salafiyyah yang gigih sejak berdirinya hingga saat ini.

Maka daulah Su’udiyyah memiliki kehormatan sebagai pembela dakwah yang haq dan pembela para ulama Sunnah.

Usaha yang agung dari daulah Su’udiyyah di dalam mendakwahkan Islam yang haq menyejukkan mata dan membesarkan hati setiap muslim yang cinta kepada Islam yang haq, tetapi sebaliknya membuat geram dan panas orang-orang yang hatinya diselubungi oleh kebatilan dan kebid’ahan!.

Lihatlah di semua media masa sekarang, siapakah yang memusuhi daulah Su’udiyyah saat ini ? Mereka adalah gabungan dari berbagai kelompok bid’ah mulai dari Syi’ah Rafidhah, Shufiyyah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Quthbiyyah Ikhwaniyyah, Quthbiyyah Sururiyyah, Tablighiyyah, Hizbut Tahrir, JIL dan sederet nama-nama lainnya yang menujukkan kesesatan jalan mereka. Dari jati diri mereka dapat disimpulkan bahwa mereka memusuhi daulah Su’udiyyah bukan karena orang-orangnya, tapi karena dakwah daulah Su’udiyyah kepada manhaj Salaf.

Berangkat dari kenyataan ini, terbetik dalam benak kami untuk menyumbangkan sedikit pembelaan kepada daulah pembela dakwah Salafiyyah ini sebagai wujud loyalitas kami kepada al-haq dan ahlinya.

PERTEMUAN ANTARA DUA IMAM DAKWAH SALAFIYYAH

Membicarakan tentang dakwah Salafiyyah di jazirah Arabiyyah tidak bisa dilepaskan dari sebuah pertemuan yang bersejarah pada tahun 1158H bertepatan dengan tahun 1745M antara dua imam dakwah Salafiyyah ; Mujaddid abad ke-13H Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan amir Ar-Rasyid Muhammad bin Su’ud –penguasa negeri Dar’iyyah waktu itu dan pendiri daulah Su’udiyyah-, keduanya sepakat untuk bekerjasama mendakwahkan dakwah Tauhid –dakwah Salafiyyah- dengan segenap daya upaya. Muhammad bin Su’ud menyambut baik kedatangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Dar’iyyah dan mengatakan kepada Syaikh : “Berbahagialah di negeri yang lebih baik daripada negerimu, dan berbahagialah dengan dukungan dan pembelaan”.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Dan aku memberi khabar gembira kepadamu dengan kemuliaan dan kedudukan yang kokoh kalimat ini –Laa Ilaha Illallah- barangsiapa yang berpegang teguh dengannya, mengamalkannya, dan membelanya, maka Alloh akan memberikan kekuasaan kepadanya pada negeri dan hamba-hambaNya, dialah kalimat tauhid, yang merupakan dakwah para rasul semuanya. Engkau melihat bahwa Nejed dan sekitarnya dipenuhi dengan kesyirikan, kejahilan, perpecahan dan peperangan diantara mereka, aku berharap agar engkau menjadi imam bagi kaum muslimin, demikian juga pada keturunanmu”.

Maka Muhammad bin Su’ud berkata : “Wahai Syaikh, ini adalah agama Alloh dan RasulNya, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Berbahagialah dengan pembelaan kepadamu dan kepada dakwah yang engkau seru, dan aku akan berjihad membela dakwah Tauhid” [Tarikh Najed oleh Husain bin Ghannam hal. 87 dan Unwatul Majd Fi Tarikhi Najed oleh Utsman bin Bisyr 1/12]

Maka mulailah kedua imam dakwah Salafiyyah tersebut beserta para pendukung keduanya menyebarkan dakwah Salafiyyah dengan modal ilmu dan keimanan, dan mengibarkan bendera jihad di depan setiap para penghalang jalan dakwah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak henti-hentinya melancarkan dakwah kepada Alloh, mengajarkan ilmu-ilmu syar’i kepada para penuntut ilmu, menyingkap syubhat-syubhat yang disebarkan oleh orang-orang kafir, para penyembah kubur, dan selain mereka. Beliau menghasung umat agar berjihad dengan berbagai jenisnya. Beliau juga langsung turun di medan jihad berserta anak-anak beliau. Beliau tulis karya-karya ilmiah dan risalah-risalah yang bermanfaat di dalam menjelaskan aqidah yang shahihah, sekaligus membantah setiap pemikiran yang menyelisihinya dengan berbagai macam argumen, sehingga nampaklah agama Alloh, menanglah pasukan Alloh dan hinalah pasukan setan, menyebarlah aqidah Salafiyah di jazirah Arabiyyah dan sekitarnya, bertambah banyaklah para penyeru kepada kebenaran, dihapuslah syi’ar-syi’ar kebid’ahan, kesyirikan dan khurafat, ditegakkanlah jihad, dan masjid-masjid di makmurkan dengan shalat dan halaqah-halaqah pengajaran Islam yang murni. [Muqaddimah Syaikh Abdul Aziz bin Baz atas kitab Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Abu Thami hal.4]

BERDIRINYA DAULAH SU’UDIYYAH SALAFIYYAH

Para ulama tarikh sepakat bahwa pendiri daulah Su’udiyyah (kerajaan Saudi Arabia) adalah Al-Imam Muhammad bin Su’ud, dialah yang membuat sunnah hasanah pada keturunannya di dalam membela agama Alloh dan memuliakan para ulama Sunnah. [Lihat Unwanul Majid oleh Ibnu Bisyr 1/234-235]

Dr. Munir Al-Ajlani menyebutkan bahwa pendiri daulah Su’udiyyah adalah Muhammad bin Su’ud, dengan baiatnya kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mengikhlaskan ibadah semata kepada Alloh dan ittiba kepada hukum Islam yang shahih di dalam siyasah (politik) daulah, serta menegakkan jihad fi sabilillah. [Tarikh Bilad Arabiyyah Su’udiyyah hal. 46-47]

Maka daulah Su’udiyyah adalah daulah Islamiyyah yang ditegakkan untuk menerapkan hukum Islam dalam kehidupan dan sekaligus daulah Salafiyyah yang membela dakwah Salafiyyah dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia.

DAULAH SU’UDIYYAH DAN DAULAH UTSMANIYYAH

Sebagian orang menyangka bahwa Syaikh Muhammad bin Adbul Wahhab dan Muhammad bin Su’ud melakukan pemberontakan terhadap daulah Utsmaniyyah, seperti yang dilakukan Muhammad bin Hasan Al-Hajawi Ats-Tsa’alabi Al-Fasi di dalam kitabnya Al-Fikru Sami Fi Tarikhil Fiqh Islami (2/374) yang menyatakan bahwa Muhammad bin Su’ud mendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk merealisasikan impiannya di dalam melepaskan diri dari kekuasaan daulah Turki Utsmani!

Pernyataan Muhammad bin Hasan Al-Fasi di atas adalah pernyataan yang keliru, karena menyelisihi realita sejarah, realita sejarah menunjukkan bahwa di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melancarkan dakwahnya dan bahkan jauh sebelumnya negeri Nejed –termasuk Dar’iyyah- tidak pernah menjadi wilayah daulah Utsmaniyyah. [Tarikh Bilad Arabiyyah Su’udiyyah hal. 47]

Di antara bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Nejed tidak pernah masuk dalam wilayah daulah Turki Utsmani adalah sebuah dokumen yang ditulis oleh Yamin Ali Affandi dengan judul asli berbahasa Turki : Qawanin Ali Utsman Dur Madhamin Daftar Diwan, di dalamnya terdapat daftar wilayah daulah Turki Utsmani sejak penghujung abad ke 11H yang terbagi menjadi 32 wilayah, 14 wilayah darinya adalah wilayah-wilayah di jazirah Arabiyyah, dan Najed tidak tercantum dalam daftar wilayah tersebut. [Lihat Bilad Arabiyyah wa Daulah Utsmaniyyah oleh Sathi’ Al-Hushari hal. 230-240]

Merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap pemerhati sejarah Islam bahwa banyak dari wlayah-wilayah kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam wilayah daulah Turki Utsmani yang ditunjukkan oleh adanya daulah-daulah yang sezaman dengan daulah Turki Utsmani seperti daulah Shafawiyyah Rafidhiyyah di Iran, daulah Mongoliyyah di India, daulah Maghribiyyah di Maroko dan beberapa negara Islam di Indonesia.

DAKWAH SALAFIYYAH PADA PERIODE PERTAMA DARI DAULAH SU’UDIYYAH

Tidak henti-hentinya Al-Imam Muhammad bin Su’ud memenuhi janjinya kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam mendukung dakwah Salafiyyah dan berjihad fi sabilillah di hadapan para penghalang dakwah hingga beliau wafat pada tahun 1179H

Sepeninggal Muhammad bin Su’ud, dibai’atlah putranya Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud sebagai imam kaum muslimin. Di antara yang membaiatnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad memiliki perhatian yang besar kepada keilmuan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sejak usia dini, ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab masih di negeri Uyainah beliau mengirim surat kepada Syaikh agar menuliskan kepadanya tafsir surat Al-Fatihah, maka Syaikh menuliskan kepadanya tafsir surat Al-Fatihah yang di dalamnya terkandung aqidah Salafush Shalih, ketika itu beliau belum mencapai usia baligh. Merupakan hal yang dimaklumi bahwa menuntut ilmu dalam usia dini memiliki atsar yang dalam dan kokoh.

Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud memiliki sebuah risalah yang agung, yang memiliki andil yang besar di dalam menyebarkan aqidah Salafush Shalih, beliau buka risalah tersebut dengan pujian kepada Alloh dan shalawat dan salam atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau berkata.

“Dari Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud kepada para ulama dan para hakim syar’i di Haramain, Syam, Mesir dan Iraq, beserta para ulama yang lain dari Masyriq dan Maghrib…” Kemudian beliau mulai menjelaskan aqidah Salafush Shalih dengan penjelasan yang gamblang dan argumen-argumen yang kuat, beliau berbicara tentang hikmah penciptaan Alloh terhadap makhlukNya, makna kalimat tauhid, hak Alloh dan hak RasulNya, siapakah musuh-musuh dakwah Slafiyyah dan yang lainnya. Kemudian beliau mengakhiri risalahnya dengan ajakan untuk kembali kepada Kitab dan Sunnah, mengamalkan keduanya dan meninggalkan segala macam bid’ah dan kesyirikan. Risalah ini mencapai 34 halaman. [Al-Hadiyyah Saniyyah oleh Ibnu Sahman, bagian awal]

Beliau juga mengirim risalah ke negeri-negeri Rum yang menjelaskan tentang agama yang haq dan tentang aqidah Salafush Shalih. [Durar Saniyyah 1/143-146]

Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud juga banyak mengirim para ulama untuk mendakwahkan aqidah Salafiyyah ke negeri-negeri di sekitarnya.

Di antara para ulama yang memiliki peran yang besar dalam dakwah Salafiyyah pada masa pemerintahan Abdul Aziz bin Muhammad adalah Syaikh Husain bin Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Husain, dan Syaikh Sa’id bin Hajji.

Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud dikenal banyak takut kepada Alloh, banyak berdzikir, selalu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, sederhana dalam pakaiannya, sesudah shalat Shubuh dia tidak keluar dari masjid hingga matahari meninggi dan shalat Dhuha.

Pada masa pemerintahan Abdul Aziz bin Muhammad negeri Saudi dalam keadaan aman, makmur dan sejahtera. [Unwanul Majd oleh Ibnu Bisyr 1/124]

Ketika Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad wafat pada tahun 1218H, putranya Su’ud bin Abdul Aziz dibaiat sebagai penggantinya. Su’ud bin Abdul Aziz dikenal memiliki perikehidupan yang baik, meneladani jejak para Salafush Shalih, dikenal kejujurannya, keberaniannya, kedalaman ilmunya, selalu membela para wali Alloh dan memusuhi para musuh Alloh. Pada zaman pemerintahannya, aqidah Salafiyyah tersebar luas hingga meliputi Haramain (Makkah dan Madinah) serta berbagai penjuru jazirah Arabiyyah. [Unwanul Majd oleh Ibnu Bisyr 1/165]

Al-Imam Su’ud bin Abdul Aziz menyebarkan sebuah kitab yang menjelaskan tentang aqidah Salafush Shalih dan menyingkap syubhat-syubhat musuh-musuh dakwah Salafiyyah, kitab tersebut disetujui dan ditanda

Jama'ah